Waspadai Tempat Pelelangan Ikan
Mengangkat kesejahteraan atau malah menjerumuskan
Mau tidak mau kehadiran Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kota Probolinggo pasti menimbulkan pergeseran budaya. Dari berbagai pergeseran yang mungkin terjadi, Budaya Patron Klienlah (pengambek) perlu mendapat perhatian. Bagaimanakah kelanjutan Patron Klien yang telah terjadi antara pedagang dan nelayan setelah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Beroperasi.
Menurut hemat penulis, dari beberapa Pelabuhan Perikanan yang ada di Indonesia, akan ada beberapa kemungkinan pada TPI terkait dengan pengambek. TPI akan beropersi sebagaimana mestinya, TPI hanya sebagai Tempat pendaratan ikan, atau justru TPI hanya akan dimanfaatkan oknum-oknum tertentu saja.
Kita bahas lebih dulu TPI yang hanya menjadi Tempat Pendaratan Ikan. Kasus seperti ini terjadi hampir diseluruh Indonesia. Para petugas lelang benar-benar tak berdaya menghadapi nelayan yang sudah terjerat hutang pada Pengambek. Alhasil, TPI hanya dijadikan fasilitas pendaratan ikan dan pencatatan data hasil tangkapan. Parahnya lagi, nelayan masih harus membayar retribusi pada petugas TPI.
Lalu bagaimana dengan TPI yang dimanfaatkan oknum-oknum tertentu? Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan kondisi diatas. Kondisi seperti ini bisa kita lihat di Pelabuhan Perikanan Prigi (Pantai Utara). Sepintas proses lelang terjadi seperti layaknya pelelangan. Ada proses tawar menawar hingga mencapai harga tertinggi.
Namun ketika kita tengok lebih dekat, terlihatlah musang-musang berbulu domba. Di Prigi, Perdagangan Ikan dikuasai oleh orang lokal. Jika ada orang luar Prigi atau tidak dikenal masyarakat sekitar, maka akan terjadi pencekalan. Dari sebuah buku yang penulis baca, pencekalan sudah terjadi sejak pintu masuk pelabuhan. Berbagai macam cara dilakukan agar pencekalan tampak tidak melanggar norma.
Apabila ada orang yang hendak membeli ikan, dia harus membelinya dari pedagang Prigi. Tidak boleh langsung ikut proses pelelangan. Mengapa demikian? Tujuannya adalah untuk melindungi golongannya (pengambek). Pengambek disana seperti layaknya kontaktor CV. “Semua ingin mendapat bagian dan untung besar”.
Sepertinya terdapat kesepakatan tak tertulis antar pedagang, apabila si A sedang menawar, maka jangan ada yang menawar lagi. Begitulah seterusnya. Sehingga serendah apapun nilai beli ikan, nelayan hanya bisa pasrah. Dan hal ini tidak patut ditiru.
Lalu bagaimana dengan TPI yang benar adanya TPI? Penulis akan ambil studi kasus yang terjadi di Sendang biru (Kawasan Pantai Selatan). Dari penampakan fisik sepintas, Pelabuhan Sendang biru masih lebih ’Wah’ PPP Kota Probolinggo. Namun jika mengenai pengelolaan TPI, perlulah kita berguru.
Tempat Pelelangan yang ada dijalankan sebagaimana fungsinya. Begitu kapal bersandar dipelabuhan, Ikan tangkapan langsung dibawa menuju TPI. Tidak ada makelar, tidak ada pengambek. Yang ada hanyalah ikan, petugas lelang dan peserta lelang (pembeli) yang benar-benar siap membeli.
Penulis katakan siap membeli karena peserta lelang telah membawa uang dalam jumlah tertentu dan disetorkan pada TPI sebelum melakukan transaksi jual beli. Jumlah pembelian pun tidak boleh melebihi jumlah uang yang telah disetor. Istilah kerennya bisa kita sebut ”beli ikan prabayar”.
Proses pelelangan dilakukan sebagaimana umumnya pelelangan, siapa yang menawarkan harga paling tinggilah pemenang lelang. Ikan yang telah terjual akan dicatat siapa pembelinya, kemudian pemenang lelang mengurusi pembayaran sebelum ikan dibawa keluar TPI. Jika saldo (uang yang disetorkan pada TPI) masih ada, anggota lelang boleh menawar ikan yang lain. Dan perlu dicatat, anggota lelang bisa berasal dari mana saja, bukan hanya warga sendang biru.
Kondisi seperti ini jelaslah sangat menguntungkan nelayan. Harga ikan semakin tinggi, semakin tinggi pula pendapatan yang didapatkan. Bahkan nelayan tidak keberatan walaupun ada retribusi yang harus dibayarkan sebesar 5% dari total ikan yang terjual.
Selain itu, para pengambek tak berdaya mempermainkan harga. Lalu bagaimana mengatasi ketergantungan nelayan meminjam uang pada pengambek untuk biaya produksi? Pemerintah setempat ternyata sudah memikirkan hal tersebut. Koperasi perikanan menjadi jalan alternative saat nelayan membutuhkan uang untuk biaya produksi.
Sayangnya, beberapa nelayan masih bergantung pada pengambek. Sebagai imbalannya pengambek mendapatkan sekian persen (jumlahnya tergantung kesepakatan) dari hasil tangkapan. Dan jelas ini memberatkan, karena selain harus membayar cicilan utang, nelayan juga harus berbagi hasil tangkapan.
Dari berbagai kemungkinan ini, penulis harapkan Pemerintah benar – benar mempertimbangkan bagaimana kebijakan yang akan dikeluarkan. Sehingga bisa mengambil hikmah dari tiga bentuk TPI diatas. Penulis yakin, pemerintah pasti ingin memberikan yang terbaik bagi rakyatnya.
Oleh Saiful Anam
Alumi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UB