About Me

Foto saya
Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia
Asix adalah sebuah kata yang berasal dari dua suku kata A dan six (enam). kalau digabung akan membentuk nama belakang saya yaitu anam. Sedangkan poel sebutan nama depan saya yang berasal dari saiful. karena lidah orang maduralah nama yang berarti pedang itu menjadi poel. tanggal lahir saya sama dengan tangal lahir bungkarno, tapi masih harus ditambah 24 hari lagi. Kalau tahun kelahiran waktu itu sedang bloming-blomingnya revolusi biru. atau masa dimana para petambak tergila-gila sama udang windu. Persisnya tahun kelahiran saya 1986.

Kamis, 01 April 2010

Mimpi Siang DAN Malam



M   ENCARI PENERANGAN MENERANGI GELAP    

I      MPIAN  MALAM MENERANGI DUNIA

M   ALAM MASIH PUNYA BINTANG DAN BULAN

P     INTU SURGAPUN TERBUKA KALA MALAM   

I      NDAHNYA MALAM BERTABUR BINTANG


M   UNGKIN SIANG BOSAN DENGAN TERANG

I      MPIAN SIANG INGIN BERBEDA

M   ENCARI PERSEMBUNYIAN DIBALIK MENDUNG

P     UTIH AWANPUN BERUBAH HITAM

I      NDAHNYA SIANG BERTABUR HUJAN


L     ANGIT BERMIMPI TERBALIK

E    NGKAU JUGA BISA

N    IAT MENGGAPAI MIMPI

T     IDAK HARUS SEJALAN DENGAN TAKDIR

E    NGGAN MELAWAN TAKDIR HANYA KEPUTUSASAAN

R    AGA HANYALAH FASILITAS

A    KAL YANG SEHAT ADALAH  SUMBERNYA


Waspadai Tempat Pelelangan Ikan

Waspadai Tempat Pelelangan Ikan
Mengangkat kesejahteraan atau malah menjerumuskan

Mau tidak mau kehadiran Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kota Probolinggo pasti menimbulkan pergeseran budaya. Dari berbagai pergeseran yang mungkin terjadi, Budaya Patron Klienlah (pengambek) perlu mendapat perhatian. Bagaimanakah kelanjutan Patron Klien yang telah terjadi antara pedagang dan nelayan setelah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Beroperasi.

Menurut hemat penulis, dari beberapa Pelabuhan Perikanan yang ada di Indonesia, akan ada beberapa kemungkinan pada TPI terkait dengan pengambek. TPI akan beropersi sebagaimana mestinya, TPI hanya sebagai Tempat pendaratan ikan, atau justru TPI hanya akan dimanfaatkan oknum-oknum tertentu saja.

Kita bahas lebih dulu TPI yang hanya menjadi Tempat Pendaratan Ikan. Kasus seperti ini terjadi hampir diseluruh Indonesia. Para petugas lelang benar-benar tak berdaya menghadapi nelayan yang sudah terjerat hutang pada Pengambek. Alhasil, TPI hanya dijadikan fasilitas pendaratan ikan dan pencatatan data hasil tangkapan. Parahnya lagi, nelayan masih harus membayar retribusi pada petugas TPI.

Lalu bagaimana dengan TPI yang dimanfaatkan oknum-oknum tertentu? Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan kondisi diatas. Kondisi seperti ini bisa kita lihat di Pelabuhan Perikanan Prigi (Pantai Utara). Sepintas proses lelang terjadi seperti layaknya pelelangan. Ada proses tawar menawar hingga mencapai harga tertinggi.

Namun ketika kita tengok lebih dekat, terlihatlah musang-musang berbulu domba. Di Prigi, Perdagangan Ikan dikuasai oleh orang lokal. Jika ada orang luar Prigi atau tidak dikenal masyarakat sekitar, maka akan terjadi pencekalan. Dari sebuah buku yang penulis baca, pencekalan sudah terjadi sejak pintu masuk pelabuhan. Berbagai macam cara dilakukan agar pencekalan tampak tidak melanggar norma.

Apabila ada orang yang hendak membeli ikan, dia harus membelinya dari pedagang Prigi. Tidak boleh langsung ikut proses pelelangan. Mengapa demikian? Tujuannya adalah untuk melindungi golongannya (pengambek). Pengambek disana seperti layaknya kontaktor CV. “Semua ingin mendapat bagian dan untung besar”.

Sepertinya terdapat kesepakatan tak tertulis antar pedagang, apabila si A sedang menawar, maka jangan ada yang menawar lagi. Begitulah seterusnya. Sehingga serendah apapun nilai beli ikan, nelayan hanya bisa pasrah. Dan hal ini tidak patut ditiru.  

Lalu bagaimana dengan TPI yang benar adanya TPI? Penulis akan ambil studi kasus yang terjadi di Sendang biru (Kawasan Pantai Selatan). Dari penampakan fisik sepintas, Pelabuhan Sendang biru masih lebih ’Wah’ PPP Kota Probolinggo. Namun jika mengenai pengelolaan TPI, perlulah kita berguru.

Tempat Pelelangan yang ada dijalankan sebagaimana fungsinya. Begitu kapal bersandar dipelabuhan, Ikan tangkapan langsung dibawa menuju TPI. Tidak ada makelar, tidak ada pengambek. Yang ada hanyalah ikan, petugas lelang dan peserta lelang (pembeli) yang benar-benar siap membeli.

Penulis katakan siap membeli karena peserta lelang telah membawa uang dalam jumlah tertentu dan disetorkan pada TPI sebelum melakukan transaksi jual beli. Jumlah pembelian pun tidak boleh melebihi jumlah uang yang telah disetor. Istilah kerennya bisa kita sebut ”beli ikan prabayar”.

Proses pelelangan dilakukan sebagaimana umumnya pelelangan, siapa yang menawarkan harga paling tinggilah pemenang lelang. Ikan yang telah terjual akan dicatat siapa pembelinya, kemudian pemenang lelang mengurusi pembayaran sebelum ikan dibawa keluar TPI. Jika saldo (uang yang disetorkan pada TPI) masih ada, anggota lelang boleh menawar ikan yang lain. Dan perlu dicatat, anggota lelang bisa berasal dari mana saja, bukan hanya warga sendang biru.

Kondisi seperti ini jelaslah sangat menguntungkan nelayan. Harga ikan semakin tinggi, semakin tinggi pula pendapatan yang didapatkan. Bahkan nelayan tidak keberatan walaupun ada retribusi yang harus dibayarkan sebesar 5% dari total ikan yang terjual.

Selain itu, para pengambek tak berdaya mempermainkan harga. Lalu bagaimana mengatasi ketergantungan nelayan meminjam uang pada pengambek untuk biaya produksi? Pemerintah setempat ternyata sudah memikirkan hal tersebut. Koperasi perikanan menjadi jalan alternative saat nelayan membutuhkan uang untuk biaya produksi.

Sayangnya, beberapa nelayan masih bergantung pada pengambek. Sebagai imbalannya pengambek mendapatkan sekian persen (jumlahnya tergantung kesepakatan) dari hasil tangkapan. Dan jelas ini memberatkan, karena selain harus membayar cicilan utang, nelayan juga harus berbagi hasil tangkapan.

Dari berbagai kemungkinan ini, penulis harapkan Pemerintah benar – benar mempertimbangkan bagaimana kebijakan yang akan dikeluarkan. Sehingga bisa mengambil hikmah dari tiga bentuk TPI diatas. Penulis yakin, pemerintah pasti ingin memberikan yang terbaik bagi rakyatnya.

Oleh Saiful Anam
Alumi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UB

Terorisme VS Teror Hantu

Terorisme VS Teror Hantu

Setelah mendapatkan kabar adanya tempat pelatihan teroris di Aceh, tim Densus 88 langsung menyusuri kawasan tersebut. Hasilnyapun luar biasa. Pimpinan Teroris yang dikabarkan lebih ‘pandai’ dari Dr Azhari tewas dibilik warnet setelah tertembus peluru petugas anti teroris. Tepuk tangan wajib diberikan pada POLRI dibawah pemerintahan SBY.
Namun sayang seribu sayang. Pemerintahan SBY hanya tanggap pada persoalan yang nampak oleh mata dan dibicarakan masyarakat luas. Mulai dari kasus Century, tak habis-habisnya wajah SBY tampil didepan media hanya untuk berkomentar atau bahkan cuma selentingan ringan.  Dan kini kasus itu seolah-olah tenggelam termakan kesuksesan berburu gembong teroris.
Teroris memang sebuah ancaman yang dapat mengancam pertahanan dan keutuhan negara. Namun permasalahan yang lebih mengancam keutuhan Negara justru kurang mendapat perhatian. Salah satunya adalah kawasan  perbatasan. Permasalahannya tetap sama dari tahun ketahun. Kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian.
Kita ambil saja contoh Nunukan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Seperti yang diberitakan Kompas (10/11), warga Nunukan lebih senang membeli barang di Negeri Tetangga karena harga lebih murah dan akses mudah. Otomatis mata uang yang digunakanpun Ringgit. Selanjutnya diberitakan warga disana bangga ketika berbelanja produk Negeri Jiran itu.
Jelas ini sebuah penjajahan samar-samar, atau penulis sebut dengan Teroris Hantu. Mengapa demikian?Karena dampak yang akan ditimbulkan bukan langsung terjadi oleh pengelihatan mata seperti bentuk ledakan bom atau buruh paksa pada zaman penjajahan. Efeknya adalah terkikisnya rasa nasionalisme, dan untung-untung tidak sampai membuat gerakan Nunukan Merdeka atau Nunukan Malaysia. Bisa tambah berabe.
Seperti halnya Sipadan Ligitan, menurut hemat penulis jelas Malaysia menangkap adanya peluang merebut kawasan ‘kaya’ itu. Pasalnya, penduduk pulau terluar Indonesia itu lebih kenal Malaysia dari pada Indonesia dalam keseharian. Mata uang dan Barang-barang yang digunakan bermerk Negeri asal Ipin dan Upin itu. Kejadian ini jelas sangat memukul perasaan semua rakyat Indonesia. Pemerintah terpukul atau tidak masih perlu dipertanyakan. Karena upaya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu belum terlihat.
Kini Nunukan sepertinya terancam mengikuti jejak kedua pulau itu, atau bukan hanya Nunukan tapi daerah-daerah lain yang berbatasan langsung dengan negeri tetangga. Tidak puas di Laut, Daratanpun disikat. Sedikit demi sedikit berkuranglah luas Nusantara. Kalau Rakyat Jadi lebih Makmur di Negeri sebelah, dan Negara tak lagi mampu mensejahterakan Rakyatnya, untuk apa lagi tergabung dalam negara?Bisa jadi pemikiran mereka kearah sana.
Hegemoni negara terhadap rakyatnya agar meningkatkan Nasionalisme sepertinya luntur. Luntu karena kesalahan sendiri. Padahal pepatah mengatakan keledai tidak akan jatuh pada lobang yang sama. Semoga saja Pemerintah Indonesia tidak lebih bodoh dari Keledai.
Jangan Terlena
Seperti yang pernah disampaikan filosof Itali Antonio Gramsci. Golongan dominan akan mempengaruhi golongan lainnya.  Dan yang terjadi diNunukan golongan dominannya adalah Kerakyatan Malaysia. Jika ini terus berlanjut bukan tidak mungkin gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Papua Merdeka akan ditiru.
Pemerintah seharusnya jangan terlalu terlena dengan berhasilnya membangun citra pada masa Indonesia Bersatu Jilid I. Setelah memerintah pada periode yang lalu seharusnya menjadi bekal atau cermin untuk menata periode kedua jadi lebih baik. Lebih baik dalam perbaikan Masyarakat tentunya, bukan lebih baik mempertahankan citra.
Citra tak perlu dipertahankan, tapi itu akan terbentuk dengan sendirinya ketika ada hasil nyata yang berdampak langsung kepada masyarakat. Bukan hanya hasil diatas kertas.
Sebenranya banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki itu semua. Indonesia tak kekurangan Mahasiswa Intelek, Dosen Intelek hingga Profesor yang kualitasnya bisa diadu. Bahkan berbagai karya ilmiah Mahasiswa banyak mengarah dan menyarankan bentuk pembangunan daerah-daerah perbatasan. Sayangnya, karya-karya ilmiah itu hanya sekedar dijadikan ajang adu gengsi dan prestasi, tanpa ada bukti nyata pemanfaatan karya itu oleh pemerintah. Ada saja alas an yang digunakan. Terkendala dana.
Dana sebenarnay melimpah, buktinya Program PNPM mandiri yang membutuhkan biaya milyaran bisa dilaksanakan dan berjalan. Dan kenapa Program seperti itu tidak ada dikawasan perbatasan. Apa pembangunan sekarang ini masih berpijak pada Zaman orde baru? Kalu ingin sejahtera, datanglah ke Pulau Jawa.
Semoga Pemerintah cepat tersadar akan pentingnya pemberantasan Terorisme Hantu. Dengan begitu diharapkan tidak bermunculan terorisme nyata. Hiduplah Negeriku Hiduplah Bangsaku Indonesia Raya.
       


Terorisme VS Teror Hantu

Terorisme VS Teror Hantu

Setelah mendapatkan kabar adanya tempat pelatihan teroris di Aceh, tim Densus 88 langsung menyusuri kawasan tersebut. Hasilnyapun luar biasa. Pimpinan Teroris yang dikabarkan lebih ‘pandai’ dari Dr Azhari tewas dibilik warnet setelah tertembus peluru petugas anti teroris. Tepuk tangan wajib diberikan pada POLRI dibawah pemerintahan SBY.
Namun sayang seribu sayang. Pemerintahan SBY hanya tanggap pada persoalan yang nampak oleh mata dan dibicarakan masyarakat luas. Mulai dari kasus Century, tak habis-habisnya wajah SBY tampil didepan media hanya untuk berkomentar atau bahkan cuma selentingan ringan.  Dan kini kasus itu seolah-olah tenggelam termakan kesuksesan berburu gembong teroris.
Teroris memang sebuah ancaman yang dapat mengancam pertahanan dan keutuhan negara. Namun permasalahan yang lebih mengancam keutuhan Negara justru kurang mendapat perhatian. Salah satunya adalah kawasan  perbatasan. Permasalahannya tetap sama dari tahun ketahun. Kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian.
Kita ambil saja contoh Nunukan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Seperti yang diberitakan Kompas (10/11), warga Nunukan lebih senang membeli barang di Negeri Tetangga karena harga lebih murah dan akses mudah. Otomatis mata uang yang digunakanpun Ringgit. Selanjutnya diberitakan warga disana bangga ketika berbelanja produk Negeri Jiran itu.
Jelas ini sebuah penjajahan samar-samar, atau penulis sebut dengan Teroris Hantu. Mengapa demikian?Karena dampak yang akan ditimbulkan bukan langsung terjadi oleh pengelihatan mata seperti bentuk ledakan bom atau buruh paksa pada zaman penjajahan. Efeknya adalah terkikisnya rasa nasionalisme, dan untung-untung tidak sampai membuat gerakan Nunukan Merdeka atau Nunukan Malaysia. Bisa tambah berabe.
Seperti halnya Sipadan Ligitan, menurut hemat penulis jelas Malaysia menangkap adanya peluang merebut kawasan ‘kaya’ itu. Pasalnya, penduduk pulau terluar Indonesia itu lebih kenal Malaysia dari pada Indonesia dalam keseharian. Mata uang dan Barang-barang yang digunakan bermerk Negeri asal Ipin dan Upin itu. Kejadian ini jelas sangat memukul perasaan semua rakyat Indonesia. Pemerintah terpukul atau tidak masih perlu dipertanyakan. Karena upaya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu belum terlihat.
Kini Nunukan sepertinya terancam mengikuti jejak kedua pulau itu, atau bukan hanya Nunukan tapi daerah-daerah lain yang berbatasan langsung dengan negeri tetangga. Tidak puas di Laut, Daratanpun disikat. Sedikit demi sedikit berkuranglah luas Nusantara. Kalau Rakyat Jadi lebih Makmur di Negeri sebelah, dan Negara tak lagi mampu mensejahterakan Rakyatnya, untuk apa lagi tergabung dalam negara?Bisa jadi pemikiran mereka kearah sana.
Hegemoni negara terhadap rakyatnya agar meningkatkan Nasionalisme sepertinya luntur. Luntu karena kesalahan sendiri. Padahal pepatah mengatakan keledai tidak akan jatuh pada lobang yang sama. Semoga saja Pemerintah Indonesia tidak lebih bodoh dari Keledai.
Jangan Terlena
Seperti yang pernah disampaikan filosof Itali Antonio Gramsci. Golongan dominan akan mempengaruhi golongan lainnya.  Dan yang terjadi diNunukan golongan dominannya adalah Kerakyatan Malaysia. Jika ini terus berlanjut bukan tidak mungkin gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Papua Merdeka akan ditiru.
Pemerintah seharusnya jangan terlalu terlena dengan berhasilnya membangun citra pada masa Indonesia Bersatu Jilid I. Setelah memerintah pada periode yang lalu seharusnya menjadi bekal atau cermin untuk menata periode kedua jadi lebih baik. Lebih baik dalam perbaikan Masyarakat tentunya, bukan lebih baik mempertahankan citra.
Citra tak perlu dipertahankan, tapi itu akan terbentuk dengan sendirinya ketika ada hasil nyata yang berdampak langsung kepada masyarakat. Bukan hanya hasil diatas kertas.
Sebenranya banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki itu semua. Indonesia tak kekurangan Mahasiswa Intelek, Dosen Intelek hingga Profesor yang kualitasnya bisa diadu. Bahkan berbagai karya ilmiah Mahasiswa banyak mengarah dan menyarankan bentuk pembangunan daerah-daerah perbatasan. Sayangnya, karya-karya ilmiah itu hanya sekedar dijadikan ajang adu gengsi dan prestasi, tanpa ada bukti nyata pemanfaatan karya itu oleh pemerintah. Ada saja alas an yang digunakan. Terkendala dana.
Dana sebenarnay melimpah, buktinya Program PNPM mandiri yang membutuhkan biaya milyaran bisa dilaksanakan dan berjalan. Dan kenapa Program seperti itu tidak ada dikawasan perbatasan. Apa pembangunan sekarang ini masih berpijak pada Zaman orde baru? Kalu ingin sejahtera, datanglah ke Pulau Jawa.
Semoga Pemerintah cepat tersadar akan pentingnya pemberantasan Terorisme Hantu. Dengan begitu diharapkan tidak bermunculan terorisme nyata. Hiduplah Negeriku Hiduplah Bangsaku Indonesia Raya.
       


PENDIDIKAN DALAM ANGKA

Maret 2010 merupakan bulan “Dak dik duk” Pelajar setingkat SMP dan SMA. Pasalnya, pada bulan tersebutlah seluruh usaha tiga tahun dipertaruhkan. Tak peduli sejak semester satu hingga lima mereka jadi juara kelas atau berada pada peringkat ujung, rajin belajar atau rajin bolos. Jika tak ‘menemukan’ angka kelulusan, habis sudah.
Demi memenuhi tuntutan angka mutlak, Lembaga Bimbingan Belajarpun diserbu. Mereka harus merogok kocek lebih dalam hanya untuk menambah jam belajar. Tidak hanya uang yang harus dikorbankan, mereka juga harus merelakan saat istirahat mereka terpotong. Parahnya lagi, mereka harus mengekang kreativitasnya. Mengapa demikian?
Jika kita perhatikan atau dari pengalaman pribadi ketika masih sekolah, ada beberapa tipe pelajar saat belajar. Mereka biasanya tidak suka jika belajar sendiri merenung dikamar. Karena cara belajar menyendiri merupakan satu cara menyiksa diri. Tidak ada tempat bertanya dan diajak berbagi. Semuapun dipikirkan sendirian. Alhasil, bukannnya menambah pemahaman tapi menambah keruwetan. Namun jika ada anggota keluarga yang bisa dijadikan sumber bertanya akan lebih baik. Selain masalah terpecahkan, juga meningkatkan kedekatan dengan anggota keluarga.
Cara kedua yang ditempuh biasanya membentuk kelompok belajar.  Harapnya, setiap siswa bisa menjadi guru bagi kawan-kawannya. Penulis masih ingat ketika masih sekolah dulu, saat belajar kelompok setiap anggota diwajibkan membuat soal dan penyelesaiannya. Kemudian soal-soal tersebut coba dikerjakan oleh anggota yang lain, apabila tidak ada yang bisa mengerjakan, sang pembuat soallah saatnya unjuk gigi.
Namun cara ini tak sepenuhnya efektif. Bagi mereka yang tidak terbiasa, kelompok belajar hanya dijadikan ajang kumpul-kumpul dan curhat. Bukan curhat soal pelajaran, tapi soal mode, guru disekolah dan lain-lain. Dan bagi mereka yang masih kurang dengan cara seperti ini larilah mereka pada jalan terakhir. Lembaga bimbingan belajar (LBB).
Selama musim menjelang Ujian Akhir, LBB tak pernah sepi dari serbuan pelajar. Selain dianggap menambah jam belajar, LBB diakui efektif menjawab soal-soal pilihan ganda. Karena itulah tujuan Ujian Akhir, Pandai Menjawab Soal Pilihan Ganda. Keinginan pendidikan murahpun kembali terabaikan. Karena selain harus mengeluarkan uang untuk biaya sekolah, orang tua siswa juga harus membayar biaya LBB yang harganya bisa dua sampai tiga kali lipat biaya sekolah.
Dengan masuknya pelajar ke LBB, otomatis mengurangi jam istirahat dan kebebasan. Karena LBB pastinya memiliki jam belajar paten layaknya sekolah. Waktu yang bisa digunakan untuk santai sejenak harus kembali disibukkan dengan kegiatan sekolah. Kapasitas otak yang membutuhkan waktu refres layaknya computer harus dipaksakan bekerja kembali. Beruntung otak Ciptaan Tuhan yang tak akan meledak karena kelebihan kapasitas.
Tidak hanya LBB yang memeras otak dan uang. Pihak sekolahpun juga melakukannya. Jam sekolah ditambah demi memenuhi angka mutlak. Dan tidak sedikit sekolah yang memberlakukan biaya tambahan jam belajar. Pulangpun menjelang terbenamnya matahari.
Setelah uang, dan jam istirahat terkurangi, kreativitaspun terkekang. Jam sore yang biasanya digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler harus terbuang. Sekolahpun membatasi ekstrakurikuler siswa kelas 3 (IX & XII). Bahkan ada yang memberlakukan kebijakan siswa kelas tersebut dilarang menjadi pengurus OSIS.
Dengan adanya runtutan tersebut, pupus sudah tujuan pendidikan yang diucapkan Paolo Piere. Menurutnya pendidikan adalah menjadikan manusia dari pemikiran magis, naïf menuju kritis.  Pemikiran Magis perupakan pemikiran dimana seorang manusia hanya menyerahkan semuanya pada sang pencipta.
Pemikiran Naif malah sebaliknya, menyalahkan semua permasalahan kepada manusia tanpa menganalisa bagaimana hubungan sebab-akibat yang terjadi. Sedangkan pemikiran kristis menciptakan manusia yang bisa menghubungkan apa yang terjadi dialam semesta ini. Antar tesis dan anti tesis. Namun menurut penulis, hakikat pendidikan adalah menciptakan manusia yang berilmu pengetahuan dan bermoral.
Jika pendidikan hanya mengandalkan jawaban pada lembar A B C D E, tidak akan tercipta manusia yang berilmu dan bermoral. Namun pada prosesnya pendidikan di Indonesia beberapa sudah mengarah pada Manusia berilmu dan bermoral. Sayangnya, ‘Gong’ dari semua  harus diakhiri pada pendidikan yang menjerumuskan.
Menjerumuskan guru dan murid berusaha berbagai macam cara untuk bisa lulus 100%. Dan parahnya lagi jika Dinas terkait juga ikut mengamini segala macam cara. Entah apa yang terjadi pada murid-murid yang tidak lulus pada tahun-tahun sebelumnya. Apakah mereka sukses merajud mimpi atau malah dikucilkan lingkungan karena tak dapat mempertahankan prestasi. Media dan pemerintah belum ada yang mengungkapnya.