KAF
“In.. Ina...Ina... bangun...bangun,”
suara samar itu terdengar bersama suara getaran roda yang bersentuhan dengan
ruas lantai. Getaran itu menambah sakit luka tusuk yang ku alami. Cahaya sekitar
semakin meredup, dan suara teriakan sahabatku mulai sayup. Saat itulah
kehidupan masa laluku dalam remang-remang menghampiriku.
Apa kalian pikir aku adalah seorang
perempuan karena mereka memanggilku Ina?sayang sekali tebakan kalian salah. Aku
adalah seorang lelaki. Perkenalkan, namaku adalah INA Alkahfie. Nama ini
diberikan orang tuaku dengan harapan aku menjadi agen perubahan layaknya
stereotip yang melekat dalam almamater mahasiswa. Yah INA adalah singkatan
INDONESIA dalam kancah internasional, sedangkan AlKahfie adalah kejayaan atau
kemenangan. Luar biasa bukan nama yang diberikan Ayahku. Bahkan saat Ayah mau
memberikan nama ini, ibu sempat menentang dengan keras, Ibu tidak mau aku
menanggung beban besar selama hidup karena namaku. Tapi Ayah percaya dan yakin,
“Dalam amanah yang besar, tercipta kekuatan yang besar,” ujar Ayah meyakinkan
ibuku.
Kejayaan Indonesia adalah Nama,
Amanah, juga cita-cita yang dititahkan kepadaku. Bahkan nama ini sekaligus
beban (benar kata ibuku). Saat usiaku masih bocah, nama ini menjadi bahan
ejekan. Katanya aku adalah hermafrodit, bencong, banci, letoy dan banyak lagi
ejekan yang mengisyaratkan aku adalah pemilik kelamin ganda. Untuk menguatkanku
ayah berkata,” Kita tidak harus menjelaskan kepada semua orang satu demi satu
makna Nama yang kau emban nak, jika sudah saatnya mereka akan tahu dengan
sendirinya, yang perlu kau lakukan adalah meyakinkan dirimu bahwa Nama yang
diberikan Kami bukan untuk memperburukmu, tapi itu adalah Doa yang akan terus
terucap sepanjang hidupmu,Insya Allah.”
Saat itu ku belum mengunyah betul penjelasan
ayahku, hingga akhirnya kuputuskan untuk mengganti nama panggilanku. Tepatnya
saat pengenalan Siswa baru di tingkat SMP. “ Perkenalkan, namaku KAF, aku
berasal dari....,” ujarku saat diberi kesempatan memperkenalkan diri. Sejak
itulah sebutan INA mulai pudar, kecuali dilingkungan rumahku dan sahabatku.
Tapi ini tak membuat kecewa ayahku, bahkan senang, karena panggilan itu juga
disukai Ibu, terutama karena berbau Arab. KAF adalah huruf ke 22 dalam abjad
Arab. Maklum, Ibuku adalah Perempuan
yang dibesarkan dalam lingkungan yang sangat kental dengan pendidikan Agama
Islam. Sedangkan ayah hanya laki-laki yang punya mimpi-mimpi besar. Dan mimpi
itu sampai saat ini hanya sebatas mimpi.
Kurasa sudah cukup perkenalannya,
dan akan kulanjutkan kenapa aku berada disini sekarang. Di tempat orang-orang
berpakaian serba putih dan sahabatku menangis tersedu. Dan saat ku berada di
sebuah ruangan, baju putih orang-orang sekitarku berubah jadi biru selanjutnya
suasana jadi gelap dan sunyi.
Semua berawal ketika ku mulai
membantu ayah mengumpulkan bukti-bukti drama dalam keuangan kantor yang di
tempati ayahku. Ayahku adalah seorang staf program perencanaan. Kegiatannya
adalah membuat Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) dan
memastikan semua anggaran yang telah direncanakan keluar sesuai dengan
fungsinya. Bagi seorang pegawai biasa seperti Ayah, pekerjaan ini adalah hal
yang amat sangat berat. Apalagi setiap pekerjaan yang dikerjakan di bawah
sumpah, Yaitu Sumpah Pegawai, belum lagi Ibu selalu mewanti-wanti agar bekerja
sesuai dengan syariat agama. “ Benar katakan benar, salah katakan salah, dan
Agama bukanlah Politik atau pengacara, dimana selalu mencari pembenaran
disetiap kesalahan, “ pesan ibu setiap kali kami membincangkan negeri ini.
Bahkan Ayah
pernah sempat ingin mengundurkan diri menjadi Pegawai Negeri. Bukannya berniat
menyombongkan diri, tapi, kembali pada niat ayah menjadi pegawai negeri. Tidak munafik,
keinginan pertamanya adalah sebagai sumber penghasilan memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. Dan niat kedua karena ingin memperbaiki negeri ini dari dalam. Mungkin
keinginan itu terlalu muluk-muluk. Tapi setiap manusia bolehlah bermimpi. Walau
mimpi itu sangat besar dan tinggi. Dengan mimpi yang besar, kita percaya bahwa Allah
itu Maha Besar Juga Maha Tinggi.
Ketika ayah baru bekerja 2 tahun
Ayah menyampaikan niatnya pada Ibu, “ Ma, saya ingin cari sumber penghasilan
lain,” kata Ayah. Ibu langsung mengerti maksud perkataan itu, beliau memeluk
ayah dari belakang sambil mendekatkan bibirnya ketelinga ayah kemudian berbisik,
“Jika orang-orang seperti ayah yang ingin menjayakan negeri ini terus
berguguran dan memutuskan keluar dari medan perang, maka sampai kapanpun negeri
ini takkan pernah menang melawan keangkara murkaan.” Ayah tertunduk lemas,
berpikir, bahkan meneteskan air mata. Ibu semakin mengeratkan pelukannya. Saat
itu aku masih dalam kandungan, kejadian ini kudengar dari ibu.
Akhirnya setiap hari, setiap jam,
menit, detik perasaan bersalah selalu menghantui ketika Ayah bekerja sebagai
staf keuangan. Uang yang harusnya diperuntukan bagi kegiatan kantor malah
digunakan untuk kepentingan pribadi, atau sekedar memuaskan pejabat yang lain. Katanya
itu adalah dana warung kopi.
Akhirnya ayah memutuskan untuk menjadi pejabat
fungsional yang pekerjaannya tidak berhubungan dengan Keuangan. Jabatan ini
terus melekat pada ayah hingga usiaku 13 tahun. Dan ibu tak ingin hidup ayah
dihabiskan untuk bekerja. Sebenarnya jabatan fungsional adalah pekerjaan yang kita
bisa mengatur ritme kerja, namun ayah terlalu gila akan mimpi-mimpi membesarkan
negari ini. Terkadang pekerjaanya melupakan
kesehatan dan keamanan dirinya.
Dan kini Staf Programlah yang
diemban Ayah. 13 tahun dengan golongan III d ayah lebih memilih menjadi staf
Program. Karena ada misi dibalik itu semua. Misi menghancurkan para penggerogot
negeri. Menjadi Pejabat fungsional membuat mental ayah semakin meningkat. Dan semakin
memantapkan niatan perubahan.
Akhir-akhir ini Ayah sering
mengajakku dan kedua sahabatku minus jus bersama di dekat sekolah kami. Bisa
jadi seminggu 5 kali. Ayah sering bercerita bagaimana dulu negeri ini
benar-benar besar,mulai dari kisah Gajah Mada hingga zaman Soekarnao.
Sampai pada hari ini ketika kita
minum juss bersama, usai bercerita ayah berujar “Mereka semua tumbang karena
membela negaranya, apakah kalian mau dan siap,” ujar ayah kepada 3 orang anak
berseragam putih biru. Kami serempak mengatakan “ SIAAAAP....” Entah apa yang
ada dipikiran kami, hanya kata itu muncul begitu saja.” Baiklah, Ina, Yusuf dan
Sulaiman, saya ada misi untuk kalian” ucap ayah lirih.
Misi ini adalah mengantarkan
Amplop ke Kantor Kejaksaan Negeri, Kantor Polisi dan 2 amplop ke kantor pos
yang masing-masing beralamat pada inspektorat dan Komisi Pemeberantasan Korupsi.
Keempat amplop tak tertulis siapa pengirimnya. Hanya alamat tujuan yang tertera
didepannya. Masing-masing terbungkus rapi oleh plastik. “ Ingat langsung menuju
kelokasi, jangan berhenti dimanapun,” ujarnya lagi meyakinkan. Kami bertiga
yang mendapat titah hanya saling pandang kemudian menganggukkan kepala.
Saya kekantor kejaksaan, Yusuf ke
Kantor pos dan Sulaiman kekantor polisi. Ternyata ayah membagi kami menjadi tim
karena ayah telah merasakan kalau telah dibuntuti dalam 3 hari terakhir. Saya
memutuskan untuk berangkat lebih dulu. Dan belum 50 meter saya meninggalkan
ayah dan kedua sahabatku, sebuah mobil memepetku dan sebuah pisau menghujam
perutku. Mobil itu langsung membawa pergi tas yang terdapat amplop titipan ayah
didalamnya. Sampailah saya diruangan ini
sekarang.
Ayah tak ikut menemani, ternyata
ayah langsung membawa amplop yang di bawa sahabat-sahabatku entah kemana. Sampai
saat kumenatap wajah ibu, ku belum juga menatap wajah ayah. Bahkan sampai aku
pergi dari Rumah sakit, Ayah belum juga terdengar kabarnya.
Sangat menyenangkan kembali ke
Kamarku yang sudah 2 minggu kutinggalkan. Setelah lukaku sembuh dengan sempurna
kuputuskan untuk kembali masuk sekolah dan saat kubuka laci belajarku, ada amplop
coklat yang tak tahu milik siapa. disana ada kertas kecil yang kutahu itu tulisan
tangan ayah karena tulisannya sangat berkarakter. “ Lanjutkan” hanya itu yang tertulis.
Akupun mengerti maksudnya, kubawa
amplop itu dalam tas yang baru ibu belikan untukku. Dengan hati bergetar takut
kejadian yang sama menimpaku, ku kayuh sepeda langsung menuju Kantor kajaksaan
Negeri. Tanpa ada hambatan apapun, Amplop itu telah diterima oleh penerima dan
pencatat surat di Kantor seragam coklat gelap itu. Sepeda kembali ku kayuh
menuju Sekolah.
Begitu pulang sekolah ternyata
ayah sudah berada dikamarku, dia memelukku sangat erat dan menciumiku berkali-kali.
“ Maafkan ayah, Ayah janji tak akan melibatkanmu lagi,” ucapan itu diucapnya
dengan terbata-bata bersama air mata membasahi pipinya.
-Nam-