Sangat susah memulainya, untuk
apa harus melakukan pegakuan, toh kejadiannya sudah sangat lama, dan mungkin
orang-orang telah melupakkannya. Tapi, jika aku tidak mengungkapkannya, akan
menjadi dosa yang terus menghantuiku. Dan mungkin setelah ku akui, akan menjadi
beban baru buatku, karena noda baru tumbuh dalam diri ini. Semua ini tentang
kejadian 4 tahun lalu, tepatnya Mei 2009. ku salahkan sebuah keadaan dan orang
lain, padahal kegagalan itu semua dariku.
# Bahagiaku
Kuliah di kampus ternama Kota Malang tak pernah ada dalam
mimpi ku, terlintaspun tak pernah. Hidup
buatku mengalir bagai air. Tak ada cita-cita, mimpi dan keinginan. Maklum,
lingkungan rumahku tak ada yang mendorongku untuk maju, atau bercita-cita. Anggaplah
saya pioner yang memberi contoh (heee.heee). Keinginan kuliah ku muncul
sebenarnyanya hanya sekedar ikut-ikutan kawan saat mendaftar SPMB (Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru). Saat akhir semester, sepupu (dia satu kelas dengan
ku. III IPA I, angkatan kami IPA hanya I kelas dengan 4 kelas lainnya IPS), dan
kawan sekolahkua sibuk dengan pendaftaran IPDN, STAN dan PMDK, saya masih belum
memiliki rasa ingin kuliah.
Keinginan kuliah muncul setelah
lulus SMA dan terus-menerus menemani kawan-kawan yang mencari info tentang
dunia setelah SMA, membuatku tertarik untuk kuliah. Sekalipun saya masih belum
paham dengan kuliah itu apa, keinginan ini muncul hanya sebatas karena jiwa
“ikut-ikutan” ku.
Keinginan kuliah kusampaikan pada
kedua orangtuaku. Padahal saya tidak pernah tau berapa gaji bapak, apakah mampu
membiayai kuliah, yah hanya sebatas penyampaian. Alhamdulillah keinginan ini
disambut positif, “ Kalau kamu tidak kuliah, kamu akan ku belikan motor,” kata
Bapak. Berhubung saya bukan orang yang suka hura-hura dan gengsi yang tinggi, ku
pertegas kalu aku ingin kuliah. “ Ok kalu mau kuliah, tapi ingat, bapak hanya
mampu membiayai secukupnya, jangan aneh-aneh, jaga amanah ini, kamu akan jauh
dari orang tua, ingat solat dan ngaji,” jelas Bapak menyampaikan amanahnya.
Pendaftaran kulakukan melalui
sekolah, karena kembali ikut-ikutan. SPMB jurusan IPA yang kupilih. Dan masih
belum ada gambaran fakultas dan jurusan apa yang ingin kumasuki. Pokoknya
daftar SPMB dulu. Setelah mendapatkan formulir, baru kuputuskan ambil jurusan
FKIP Matematika di UNEJ Jember dan jurusan PSP di UB Malang. Saat kupilih
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP) saya benar-benar tak tahu apa yang ku
pilih, pilihan ini hanya berdasarkan peluang saya masuk Universitas Negeri.
Dilalah, Jurusan PSP yang mau menampungku jadi Mahasiswanya. 4,5
tahun ku lalui kuliah di UB, dan selama 4 tahun saya bergelut dengan dunia PERS
Mahasisawa FPIK. Dunia tulis-menulis sudah ingin kugeluti sejak dibangku SMA, namun SMADA
Probolinggo tempatku menggali ilmu saat itu belum mewadahi. Kembali pada
ikut-ikutan, rasa ingin mengikuti dunia tulis-menulis karena sahabatku bergelut
di dunia tulis-menulis, mereka disekolah yang berbeda denganku. Ku pikir dunia
pers itu keren. Sampai akhirnya ku terjun di LPM AQUA, PERSMA FPIK. Dan
ternyata pengalaman luar biasa yang sangat keren. Disinilah ku mulai mengikis
rasa ikut-ikutan yang selama ini terasa mendarah daging.
Dan akhirnya, dari AQUA juga ku
mulai memiliki mimpi, cita-cita, dan keinginan. Pengalaman di PERSMA
mengantarkanku pada dunia Jurnalistik yang sebenarnya. Dimana kita dibayar
karena tulisan kita. Bekerja karena sesuatu yang kita senangi. Setelah melalui
tes tulis pengetahuan umum, psikotes tulis, tes wawancara umum, dan psikotes
wawancara, mulailah saya bekerja sebagai Jurnalis Jawa Pos. Dengan masa
Training 6 bulan.
Jawa Pos adalah pengalaman luar
biasa yang memberiku pelajaran hidup. Hidup tak hanya butuh keinginan yang kuat
(karena hobi atau kesenangan), teoritis kuliahan, dan kawan-kawan yang selalu
mendorong kita. Ternyata hidup di dunia nyata kita harus punya kemauan, insting, kemampuan beradaptasi dan
talent. Tanpa salah satunya, habislah kita. Sedangkan untuk jadi wartawan,
kau butuh keempatnya. Wartawan itu pekerjaan yang kompleks, kerja keras dan
pengorbanan saja tak cukup. Kecuali kau adalah wartawan Bodrex, cukuplah kau punya
kamera, mp3, kertas dan pena.
Di terima menjadi jurnalis Jawa
Pos, walaupun hanya sekedar traning, sudah menjadi kebangaan luar biasa dalam
hidup ini. Dan kebanggan inilah yang kemudian menjadi petaka dalam hidupku saat
ku putuskan melepas statusku di Media terpandang di Jawa Timur bahkan di
Indonesia.
#Maafkan aku
Seminggu awal kegiatan di Lantai
4 Gedung Graha Pena adalah pengenalan tentang dunia jurnalistik. Dan pada
seminggu ini pula kita akan dibagi pada fokus liputan yang akan kita kerjakan,
Kriminal, hukum, ekonomi, fashion,politik, pemerintahan, dan kota. 3 bulan
pertama saya ditugaskan dibidang kriminal khusus kawasan Polres Surabaya Utara.
Dan 2 bulan berikutnya sebelum kuputuskan resign
bidang kota menjadi sasaran tulisanku.
Dan sebelum diterjunkan
kelapangan kamipun diberi kepercayaan untuk memilih nama pena dengan 3 huruf
kata. Nam, gun, uri, ika, res,
bay, jo, rob, dim, sai, raf, lum, dan 3 kode nama seangkatan lainnya
yang tak lagi melekat dalam otakku (bukan sengaja melupakan). 1 kawan gugur
sebelum berperang, karena melihat gaji yang mungkin menurut dia jauh dari
harapannya sebagai sarjana Teknik.
Tak lupa kami juga diperkenalkan
dengan para redaktur metropilis. Menjadi jurnalis kriminal buatku tak ada
masalah dalam pekerjaan, namun ini tetap menjadi masalah bagi redaktur karena
tulisanku yang biasa saja dan tak pernah menulis box (tulisan depan paling
bawah dalam koran jawa pos/ tulisan cerita). Yah kembali pada 4 hal tadi,
insting wartawanku sangat lemah.
Masalah dengan redaktur kriminal
saat itu mungkin hanya sebatas tulisan yang kurang runtut, foto kurang pas, dan
data yang kurang mendalam. Berbeda saat ku berada pada liputan kota bersama
Redaktur ONI (seporanah Se benyak Cak). Kekacauan yang kubuat amat sangat parah
dan fatal. Sangat sering redaktur kena marah komandan karena tulisanku.
Salah menyebut nama pejabat
tertukar dengan jabatan yang lain, salah pengejaan nama orang, bahkan salah
menyebut nama pohon. (ini adalah liputanku yang paling semburat dan kelam).
Belum lagi ku tak mampu memenuhi jumlah tulisan yang harus di setor. “ tulis
revisi nam, minta maaf, tulis maaf atas kesalahan penulisan karena saya sering
salah,” tegur redaktur, diikuti tertawa kawan-kawan sebelahku yang ikut mendengarkan.
Kata ini sangat kuingat, dan
inilah teguran terakhir beliau. Walaupun ku sering membuat kesalahan, redaktur
ini tetap terus membimbingku tak kenal lelah, bahkan tak pernah marah dengan
masa yang lama, mungkin hanya 5 menit. Setelah itu suasana kembali mencair.
Kenapa teguran ini ku anggap yang
terakhir? Karena beberapa hari berikutnya saat rapat metropolis dan 1 bulan
menjelang evaluasi angkatan trainingku, kata itu keluar dari redaktur dan
sangat menusukku. “kamu gak pantes nam jadi wartawan,” ujarnya redaktur box.
Dan saat keluar ruangan, rapat wajahku sudah tak mampu lagi memperlihatkan
senyum sekecil apapun.
Bahkan kawan yang mengantarkanku
naik motor kekosanku mengatakan,” wes gak
usah dirungokno omongan mau, iku cuma penyemangat gae anam cek tambah apik.”
Dan semalam itu aku tak mampu tidur dan terus memikirkan kata peremuk jantung
itu.
Esok paginya kuputuskan masuk
kantor, dan seperti biasanya ambil koran dan baca koran dulu sebelum berangkat
liputan (ini kebiasaanku tiap pagi). Entah kenapa air mata menetes dari mataku
karena kembali mengingat kejadian tadi malam. Untuk berbagi, akupun
menceceritakan kejadian semalam dengan keluargaku sambil menangis tersedu.
Tangis ini karena profesi jurnalis adalah cita-cita awal yang pernah kumiliki dan
kini kuraih, namun harus remuk dengan kata tadi malam. Setelah itu kuputuskan
untuk membuat surat pengunduran diri tanpa berpamitan pada orang-orang yang ku
anggap dekat ( Redaktur oni, redaktur ros, gun, mbk uri, dan mbak nungky). Aku
malu, bahkan sangat malu kalau harus memperlihatkan wajah atau memperdengarkan
suara keputusasaanku. Bahkan mbak nungky baru tau saya resign setelah 2 hari
berlalu, dan saya telah meninggalkan kota SURABAYA.
Dan setelah saya resign, agar
menguatkankan hati dan mukaku, ku tak pernah menceritakan kejadian ini pada
siapapun, aku berbohong pada semua orang bahkan pada diriku tentang kenapa ku
harus meninggalkan dunia jurnalis dari Jawa Pos. Padahal pekerjaan itu adalah
hobiku. Aku selalu menjawab tidak cocok dan berbagai alasan yang tidak
menyudutkanku, bahkan kebohonganku sempat menjelekkan profesi yang ku cintai.
MAAFKAN AKU KAWAN, MAAF BERIBU
MAAF. MUNGKIN TULISAN INI TAK CUKUP SEBAGAI PERMINTAAN MAAF, ATAU DAN JIKA
MUNGKIN KAWAN TELAH MELUPAKANKU, DAN TIDAK MENGINGAT MASA ITU, AKU MASIH PERLU
MEMINTA MAAF. BERSAMA KALIAN ADALAH PENGALAMAN YANG LUAR BIASA.
Maafkan atas semua
kesalahankua,dan terimakasih atas dukungan kalian semua selama kita bersama : Cak
Oni, Mas Ros, Cak Fat, Cak Hud, Gun, Mbak Uri, Mbak Pungky, Res, Lum, dan Ainur
-Nam-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
biar lebih asix dikomentari ya..dan jangan lupa follow ya...