About Me

Foto saya
Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia
Asix adalah sebuah kata yang berasal dari dua suku kata A dan six (enam). kalau digabung akan membentuk nama belakang saya yaitu anam. Sedangkan poel sebutan nama depan saya yang berasal dari saiful. karena lidah orang maduralah nama yang berarti pedang itu menjadi poel. tanggal lahir saya sama dengan tangal lahir bungkarno, tapi masih harus ditambah 24 hari lagi. Kalau tahun kelahiran waktu itu sedang bloming-blomingnya revolusi biru. atau masa dimana para petambak tergila-gila sama udang windu. Persisnya tahun kelahiran saya 1986.

Rabu, 18 Desember 2013

KAF

KAF

“In.. Ina...Ina... bangun...bangun,” suara samar itu terdengar bersama suara getaran roda yang bersentuhan dengan ruas lantai. Getaran itu menambah sakit luka tusuk yang ku alami. Cahaya sekitar semakin meredup, dan suara teriakan sahabatku mulai sayup. Saat itulah kehidupan masa laluku dalam remang-remang menghampiriku.
Apa kalian pikir aku adalah seorang perempuan karena mereka memanggilku Ina?sayang sekali tebakan kalian salah. Aku adalah seorang lelaki. Perkenalkan, namaku adalah INA Alkahfie. Nama ini diberikan orang tuaku dengan harapan aku menjadi agen perubahan layaknya stereotip yang melekat dalam almamater mahasiswa. Yah INA adalah singkatan INDONESIA dalam kancah internasional, sedangkan AlKahfie adalah kejayaan atau kemenangan. Luar biasa bukan nama yang diberikan Ayahku. Bahkan saat Ayah mau memberikan nama ini, ibu sempat menentang dengan keras, Ibu tidak mau aku menanggung beban besar selama hidup karena namaku. Tapi Ayah percaya dan yakin, “Dalam amanah yang besar, tercipta kekuatan yang besar,” ujar Ayah meyakinkan ibuku.
Kejayaan Indonesia adalah Nama, Amanah, juga cita-cita yang dititahkan kepadaku. Bahkan nama ini sekaligus beban (benar kata ibuku). Saat usiaku masih bocah, nama ini menjadi bahan ejekan. Katanya aku adalah hermafrodit, bencong, banci, letoy dan banyak lagi ejekan yang mengisyaratkan aku adalah pemilik kelamin ganda. Untuk menguatkanku ayah berkata,” Kita tidak harus menjelaskan kepada semua orang satu demi satu makna Nama yang kau emban nak, jika sudah saatnya mereka akan tahu dengan sendirinya, yang perlu kau lakukan adalah meyakinkan dirimu bahwa Nama yang diberikan Kami bukan untuk memperburukmu, tapi itu adalah Doa yang akan terus terucap sepanjang hidupmu,Insya Allah.”
 Saat itu ku belum mengunyah betul penjelasan ayahku, hingga akhirnya kuputuskan untuk mengganti nama panggilanku. Tepatnya saat pengenalan Siswa baru di tingkat SMP. “ Perkenalkan, namaku KAF, aku berasal dari....,” ujarku saat diberi kesempatan memperkenalkan diri. Sejak itulah sebutan INA mulai pudar, kecuali dilingkungan rumahku dan sahabatku. Tapi ini tak membuat kecewa ayahku, bahkan senang, karena panggilan itu juga disukai Ibu, terutama karena berbau Arab. KAF adalah huruf ke 22 dalam abjad Arab.  Maklum, Ibuku adalah Perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan yang sangat kental dengan pendidikan Agama Islam. Sedangkan ayah hanya laki-laki yang punya mimpi-mimpi besar. Dan mimpi itu sampai saat ini hanya sebatas mimpi.
Kurasa sudah cukup perkenalannya, dan akan kulanjutkan kenapa aku berada disini sekarang. Di tempat orang-orang berpakaian serba putih dan sahabatku menangis tersedu. Dan saat ku berada di sebuah ruangan, baju putih orang-orang sekitarku berubah jadi biru selanjutnya suasana jadi gelap dan sunyi.
Semua berawal ketika ku mulai membantu ayah mengumpulkan bukti-bukti drama dalam keuangan kantor yang di tempati ayahku. Ayahku adalah seorang staf program perencanaan. Kegiatannya adalah membuat Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) dan memastikan semua anggaran yang telah direncanakan keluar sesuai dengan fungsinya. Bagi seorang pegawai biasa seperti Ayah, pekerjaan ini adalah hal yang amat sangat berat. Apalagi setiap pekerjaan yang dikerjakan di bawah sumpah, Yaitu Sumpah Pegawai, belum lagi Ibu selalu mewanti-wanti agar bekerja sesuai dengan syariat agama. “ Benar katakan benar, salah katakan salah, dan Agama bukanlah Politik atau pengacara, dimana selalu mencari pembenaran disetiap kesalahan, “ pesan ibu setiap kali kami membincangkan negeri ini.
  Bahkan Ayah pernah sempat ingin mengundurkan diri menjadi Pegawai Negeri. Bukannya berniat menyombongkan diri, tapi, kembali pada niat ayah menjadi pegawai negeri. Tidak munafik, keinginan pertamanya adalah sebagai sumber penghasilan memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dan niat kedua karena ingin memperbaiki negeri ini dari dalam. Mungkin keinginan itu terlalu muluk-muluk. Tapi setiap manusia bolehlah bermimpi. Walau mimpi itu sangat besar dan tinggi. Dengan mimpi yang besar, kita percaya bahwa Allah itu Maha Besar Juga Maha Tinggi.
Ketika ayah baru bekerja 2 tahun Ayah menyampaikan niatnya pada Ibu, “ Ma, saya ingin cari sumber penghasilan lain,” kata Ayah. Ibu langsung mengerti maksud perkataan itu, beliau memeluk ayah dari belakang sambil mendekatkan bibirnya ketelinga ayah kemudian berbisik, “Jika orang-orang seperti ayah yang ingin menjayakan negeri ini terus berguguran dan memutuskan keluar dari medan perang, maka sampai kapanpun negeri ini takkan pernah menang melawan keangkara murkaan.” Ayah tertunduk lemas, berpikir, bahkan meneteskan air mata. Ibu semakin mengeratkan pelukannya. Saat itu aku masih dalam kandungan, kejadian ini kudengar dari ibu.
Akhirnya setiap hari, setiap jam, menit, detik perasaan bersalah selalu menghantui ketika Ayah bekerja sebagai staf keuangan. Uang yang harusnya diperuntukan bagi kegiatan kantor malah digunakan untuk kepentingan pribadi, atau sekedar memuaskan pejabat yang lain. Katanya itu adalah dana warung kopi.
 Akhirnya ayah memutuskan untuk menjadi pejabat fungsional yang pekerjaannya tidak berhubungan dengan Keuangan. Jabatan ini terus melekat pada ayah hingga usiaku 13 tahun. Dan ibu tak ingin hidup ayah dihabiskan untuk bekerja. Sebenarnya jabatan fungsional adalah pekerjaan yang kita bisa mengatur ritme kerja, namun ayah terlalu gila akan mimpi-mimpi membesarkan negari ini.  Terkadang pekerjaanya melupakan kesehatan dan keamanan dirinya.
Dan kini Staf Programlah yang diemban Ayah. 13 tahun dengan golongan III d ayah lebih memilih menjadi staf Program. Karena ada misi dibalik itu semua. Misi menghancurkan para penggerogot negeri. Menjadi Pejabat fungsional membuat mental ayah semakin meningkat. Dan semakin memantapkan niatan perubahan.
Akhir-akhir ini Ayah sering mengajakku dan kedua sahabatku minus jus bersama di dekat sekolah kami. Bisa jadi seminggu 5 kali. Ayah sering bercerita bagaimana dulu negeri ini benar-benar besar,mulai dari kisah Gajah Mada hingga zaman Soekarnao.
Sampai pada hari ini ketika kita minum juss bersama, usai bercerita ayah berujar “Mereka semua tumbang karena membela negaranya, apakah kalian mau dan siap,” ujar ayah kepada 3 orang anak berseragam putih biru. Kami serempak mengatakan “ SIAAAAP....” Entah apa yang ada dipikiran kami, hanya kata itu muncul begitu saja.” Baiklah, Ina, Yusuf dan Sulaiman, saya ada misi untuk kalian” ucap ayah lirih.
Misi ini adalah mengantarkan Amplop ke Kantor Kejaksaan Negeri, Kantor Polisi dan 2 amplop ke kantor pos yang masing-masing beralamat pada inspektorat dan Komisi Pemeberantasan Korupsi. Keempat amplop tak tertulis siapa pengirimnya. Hanya alamat tujuan yang tertera didepannya. Masing-masing terbungkus rapi oleh plastik. “ Ingat langsung menuju kelokasi, jangan berhenti dimanapun,” ujarnya lagi meyakinkan. Kami bertiga yang mendapat titah hanya saling pandang kemudian menganggukkan kepala.
Saya kekantor kejaksaan, Yusuf ke Kantor pos dan Sulaiman kekantor polisi. Ternyata ayah membagi kami menjadi tim karena ayah telah merasakan kalau telah dibuntuti dalam 3 hari terakhir. Saya memutuskan untuk berangkat lebih dulu. Dan belum 50 meter saya meninggalkan ayah dan kedua sahabatku, sebuah mobil memepetku dan sebuah pisau menghujam perutku. Mobil itu langsung membawa pergi tas yang terdapat amplop titipan ayah didalamnya.  Sampailah saya diruangan ini sekarang.
Ayah tak ikut menemani, ternyata ayah langsung membawa amplop yang di bawa sahabat-sahabatku entah kemana. Sampai saat kumenatap wajah ibu, ku belum juga menatap wajah ayah. Bahkan sampai aku pergi dari Rumah sakit, Ayah belum juga terdengar kabarnya.
Sangat menyenangkan kembali ke Kamarku yang sudah 2 minggu kutinggalkan. Setelah lukaku sembuh dengan sempurna kuputuskan untuk kembali masuk sekolah dan saat kubuka laci belajarku, ada amplop coklat yang tak tahu milik siapa. disana ada kertas kecil yang kutahu itu tulisan tangan ayah karena tulisannya sangat berkarakter.  “ Lanjutkan” hanya itu yang tertulis.
Akupun mengerti maksudnya, kubawa amplop itu dalam tas yang baru ibu belikan untukku. Dengan hati bergetar takut kejadian yang sama menimpaku, ku kayuh sepeda langsung menuju Kantor kajaksaan Negeri. Tanpa ada hambatan apapun, Amplop itu telah diterima oleh penerima dan pencatat surat di Kantor seragam coklat gelap itu. Sepeda kembali ku kayuh menuju Sekolah.
Begitu pulang sekolah ternyata ayah sudah berada dikamarku, dia memelukku sangat erat dan menciumiku berkali-kali. “ Maafkan ayah, Ayah janji tak akan melibatkanmu lagi,” ucapan itu diucapnya dengan terbata-bata bersama air mata membasahi pipinya.
-Nam-   
  
    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

biar lebih asix dikomentari ya..dan jangan lupa follow ya...